Oleh : Hendra Y Malik, S.Ip
Baru saja beberapa hari yang lalu, perjuangan manusia melawan pandemi
Covid-19 memasuki babak baru. Sebelumnya dalam sejarah, ada kurang lebih enam pandemi flu termasuk pandemi Corona yang meraih perhatian manusia dalam skala global.
Pandemi-pandemi flu tersebut antara lain: Wabah besar London (Great Plague of London) pada tahun-tahun 1650-an yang mematikan setidaknya dua puluh persen penduduk kota London kala itu; Flu Spanyol (Spanish Flu) atau yang juga dikenal sebagai pandemi yang paling mematikan sepanjang sejarah manusia, berlangsung pada Januari tahun 1918 hingga Desember 1920, menginfeksi lebih kurang lima ratus juta manusia dan membunuh 17 hingga 50 juta jiwa; Flu Asia pertama kali terdeteksi di Singapura pada Februari 1957, setidaknya korban mencapai 1,1 juta orang meninggal di seluruh dunia; kemudian ada Flu Hong Kong pada tahun 1968 yang Menewaskan setidaknya satu juta orang di seluruh dunia; dan terakhir Flu BabiS (Swine Flu) pada tahun 2009 di Amerika Serikat yang mengakibatkan kematian Sekitar 575.400 orang. Gambaran ini adalah horor yang seharusnya menjadi Pelajaran yang sangat berharga bagi umat manusia, karena pandemi flu Corona Telah mencapai satu juta kasus terkonfirmasi berdasarkan data Badan kesehatan Dunia (World Health Organisation), keadaan ini masih terus berlanjut dan masih menjadi tanda tanya besar bagi kita semua. Di Indonesia dari data terakhir WHO (diakses pada 5 April 2020) mencapai jumlah 2.273 total kasus terkonfirmasi dan kematian mendekati angka 200 orang. Bagaimana kondisi negara lainnya?
Covid-19 di negara Italia
Di negara Italia, menurut WHO jumlah kasus terkonfirmasi sebanyak 124.632 totalnya, kedua terbesar setelah Spanyol dengan selisih 104 kasus di Eropa.
Sama halnya seperti negara Indonesia, di Italia juga mengalami kekurangan Alat
Pelindung Diri (APD) bagi personel medis, menurut asosiasi dokter Italia seperti yang dilansir oleh cnbc.com (pada 3 April yang lalu), setidaknya di Italia terjadi peningkatan jumlah personel medis yang meninggal akibat cross contamination (kontaminasi silang), keadaan ini didukung oleh kurangnya APD seperti masker dan ketidaksiapan institusi kesehatan seperti rumah sakit untuk menerima pasien Corona secara bersamaan.
Lain lagi seperti yang dikutip oleh The New York Times pada 21 Maret yang lalu, ketidaksiapan itu merupakan penyesalan
pemerintah Italia karena tidak melakukan Lockdown (protokol darurat mencegah masyarakat meninggalkan suatu area) lebih dini. Saat ini, Italia menjadi pusat perhatian pandemi Corona di Eropa, Italia juga telah menggunakan angkatan bersenjata untuk menerapkan kebijakan lockdown tersebut. Untuk kebutuhand asar masyarakat seperti pangan, akan dipenuhi oleh pemerintah Italia secarae berkala. Kantor-kantor dan pabrik berhenti beroperasi, lapangan udara domestik dan Internasional ditutup, transportasi publik pun dihentikan sementara, hanya beberapa titik pusat perbelanjaan kebutuhan dasar dan toko farmasi yang diperbolehkan untuk beroperasi.
Italia memasuki minggu ke-empat sejak diberlakukannya kebijakan lockdown, masyarakat dibeberapa kota mulai menunjukkan gejala kepanikan, polisi mulai dikerahkan di kota-kota seperti kota Palermo, Sicilia, untuk menenangkan kecemasan masyarakat ditengah-tengah kebijakan lockdown. Beberapa toko daerah tersebut dilaporkan terjadi pencurian, penjarahan dan kemalingan.
Menurut Giuseppe Antoci dari yayasan Caponnetto Foundation, seperti yang
dilansir oleh thedailybeast.com (pada 31 April 2020), „firma-firma kecil dan menengah adalah yang paling merasakan dampak ekonomi dari situasi tersebut, saat ini dan disini, para Mafia (sebutan untuk organisasi kejahatan Italia) bersiap untuk mengintervensi,“ Tegasnya. Agar situasi ini tidak tereskalasi, ia mengharapkan bahwa pemerintah Italia harusnya bertindak lebih dini sehingga pencegahan dapat dilakukan lebih cepat, jika dibiarkan lebih lama lagi, akan bisa benar-benar semakin memburuk, imbuhnya.
Covid-19 di negara Amerika Serikat
Negara Amerika Serikat juga kurang lebih mengalami hal yang sama dalam
menghadapi pandemi Corona. Menurut data WHO ada sebanyak 273.808 kasus
yang terkonfirmasi dan 7.020 orang yang meninggal dunia karena virus ini.
Keadaan ini diperparah dengan guyonan presiden Trump melalui kelakar politiknya. Presiden Amerika serikat ini diujuluki oleh surat kabar The Guardian sebagai presiden terburuk sepanjang krisis virus Corona ini menempa negara amerika Serikat, atribut tersebut disematkan karena responnya yang khas terhadap isu-isu global, seperti biasanya pertama kali ia akan memungkiri, ketika gagal lalu menyalahkan bangsa atau orang lain.
Pada satu strategi yang diketahui efektif dalam menanggulangi wabah yaitu, screening (penyaringan) orang yang terinfeksi dan social distance (jaga jarak aman sosial), lagi menurut the Guardian, negara Amerika telah jauh ketinggalan dari negara-negara lain karena fokus yang teralihkan dengan hal-hal yang bersifat guyonan politik lebih menghiasi judul-judul surat kabar nasional dan menguras energi masyarakat.
Saat ini data yang dikumpulkan oleh CDC (pusat pengendalian dan pencegahan penyakit di Amerika) mengenai penyebaran virus Corona juga mengalami krisis integritas, rapid test yang dilakukan pertama kali, mengalami kecacatan data dan harus dilakukan ulang.
Produksi alat tes yang baru, juga mengalami keterlambatan karena kurangnya komponen inti untuk memproduksi alat tersebut. Sedangkan jalur untuk mendatangkan komponen inti dari luar negeri mengalami guncangan karena sekali lagi, akibat dari guyonan politik presiden Trump.
Krisis yang terjadi di Amerika saat ini bukan hanya dari segi kesehatan saja,
namun juga Amerika diprediksi akan mengalami kelaparan nasional. Diketahui dari pernyataan relasi media St. Marry´s Food Bank Organisation (lembaga non- profit yang menyediakan makanan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah Amerika), Jerry Brown mengatakan bahwa pertama kali ia „hanya melihat orang- orang yang hidup dengan mengandalkan gaji hariannya saja untuk mengambil makanan disini, kemudian diikuti dengan mereka yang mengandalkan tabungan mingguannya untuk hidup, lalu sekarang bahkan mereka yang sering mendonasikan makanan disini juga ikut meminta makanan dari kami“.
Menurut survey yang dilakukan oleh surat kabar The Guardian, terjadi peningkatan signifikan permintaan makanan dibeberapa negara bagian, bahkan di Jefferson County (setingkat kabupaten), terjadi peningkatan permintaan hingga 90% dan di kota Phoenix, Arizona mengalami peningkatan permintaan persediaan makanan hingga lebih dari 300%. Yayasan dan organisasi non-pemerintah meramalkan bahwa mereka tidak akan sanggup memenuhi permintaan makanan dimasa mendatang jika pemerintah tidak turun tangan dengan sebuah rencana yang efektif.
Covid-19 di Negara China
Di negara China, tempat asal ditemukannya virus Covid-19, untuk pertama kalinya mengumumkan pada 19 Maret 2020 yang lalu, bahwa di negaranya tidak ditemukan adanya kasus domestik yang baru, yang menunjukkan sinyal pemulihan dari pandemi virus Corona ini.
China berhasil menekan laju penyebaran virus Covid-19 dengan cara jitu mengerahkan segala bentuk alat negara untuk melokalisir melalui kebijakan lockdown dan membangun rumah sakit dengan kapasitas 1.000 ranjang khusus untuk menangani pasien yang terinfeksi virus Corona. Rumah sakit yang bernama Huoshenshan ini dibangun di kota Wuhan provinsi Hubei, tepat di lokasi sentral pandemi itu ditemukan, dengan menggunakan desain yang telah ditemukan sejak tahun 2003 yang lalu, dari pengalaman negara itu mengatasi pandemi SARS di Beijing.
Kebijakan cepat lockdown serta melokalisir pasien dianggap oleh masyarakat global sebagai kebijaka yang tepat untuk menangani situasi pandemi seperti sekarang ini.
Baru-baru ini pemerintah mulai membuka kembali aktifitas kota Wuhan, secara berkala larangan-larangan seperti melakukan perjalanan, jam malam, mengunjungi tempat-tempat publik, perlahan mulai dihapuskan. Namun, permasalahan virus ini bukan saja berhenti ketika melihat statistik kasus-kasus Corona baru menukik, ada hal lain yang membayangi negara China saat ini,
seperti yang dikatakan oleh lembaga survey ekonomi privat analisa non pemerintah yang berbasis di Amerika, CBB (China Beige Book International), bukanlah tidak beralasan bahwa China akan mengalami kontraksi pada kwartal
pertama sebesar 10 hingga 11 persen penurunan Produk Domestik Bruto (PDB).
Keadaan ini diperparah dengan laporan rahasia yang bocor ke publik, dari lembaga intelijen Amerika yang mengatakan bahwa pemerintah China saat ini memanipulasi data pasien virus Corona agar citra negara tersebut pulih dengan cepat, walaupun telah disangkal melalui kawat politik Beijing di Amerika. Jika tuduhan itu benar, maka harapan itu hanyalah kepalsuan lainnya yang ditunjukan oleh panggung politik global.
Benang Merah Permasalahan Negara Pasien Corona
Dalam beberapa bulan sebelumnya, diketahui dari media-media mainstream lokal maupun Internasional, negara-negara yang saat itu belum terinfeksi, seharusnya memberikan peringatan kewaspadaan bagi rakyatnya, bersiap-siap menghadapi wabah dengan skema komprehensif yang efektif yang bersifat mencegah, terlebih lagi mengukur dengan ilmu pengetahuan mengenai dampak dan akibat yang akan ditimbulkan dalam bidang kesehatan, sosial, ekonomi,hukum, bahkan transportasi dan pariwisata. Para politisi terlalu mengumbar kepercayaan diri yang berujung pada kesombongan, jika hal tersebut diikuti dengan persiapan yang matang, tentu tidak akan seperti ini hasilnya, namun sayangnya rakyat harus menanggung beban kesombongan tersebut.
Negara gagal melindungi segenap rakyatnya, dan rakyat harus membayarnya dengan nyawa dan air mata.
Dunia kesehatan mengalami kekurangan APD secara global, harga obat-obatan
meningkat, khususnya obat pernapasan, karena permintaan yang tinggi dan supply produksi yang tak tersanggupi. Paramedis dan relawan kesehatan yang
paling beresiko terkena wabah, apalagi mereka yang tak mempunyai rumah tinggal, hidup di kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, toilet-toilet umum, bahkan tak yang tak memiliki nomor jaminan sosial yang tertera pada kartu tanda penduduk, bagaimana solusi terbaik dari negara bagi mereka? Apakah tak boleh bertanya begitu jika bertemu pejabat dan para senator?
Para buruh untuk sementara dirumahkan, sembari menunggu para politisi dan teknokrat selesai berdiskusi dengan kudapan mahalnya, untuk menyelesaikan secara administrasi mengenai bikrorasi penyerahan bantuan-bantuan bagi mereka.
Beberapa negara telah menyelesaikannya dengan baik hingga ke tahap penyaluran, namun beberapa negara berkembang yang masih bingung tentang conflict of Interest dalam pemerintahannya, tak berdaya menunggu hingga para pihak mau mengalah demi rakyat. Negara-negara yang dipenuhi oleh koruptor yang tentu keberadaannya disangkal namun telah diketahui secara publik.
Di sisi lain, rakyat sudah semakin ragu dan khawatir dengan situasi yang semakin tak menentu, mereka semakin tak berdaya untuk menjalani karantina sendiri dirumah masing-masing, karena hanya dipengaruhi oleh satu perasaan,yaitu rasa takut.
Cepat atau lambat rasa takut itu akan dikalahkan dengan rasapar, kekecewaan, dan berujung pada kemarahan. Tentu tiada satu penguasapun di bumi ini yang menginginkan rakyatnya bersatu dan marah, tentu par penguasa menginginkan tiap-tiap rakyat harus menjadi warga negara yang„baik“, dalam artian menuruti apapun yang diperintahkan oleh pemerintah, meninggalkan penilaian baik – buruknya perintah tersebut hanya bagi pemerintah itu sendiri. Dalam penilaian ilmu politik, situasi seperti ini dapat melahirkan pemerintahan yang totaliter dan dapat berpotensi melahirkan ketidakpatuhan sipil lainnya pasca reformasi ´98, bagi negara Indonesia khusunya.
*penulis adalah peneliti Yang tingal di spanyol