Jarijambi.com, JAMBI – Agenda pelaksanaan Pemilihan Umum Raya (Pemira) UNJA yang akan digelar pihak rektorat secara daring, Jum’at (21/8) esok pagi menuai banyak kontroversi.
Pelaksanaan yang terkesan dipaksakan tanpa melibatkan mahasiswa dinilai mengkebiri hak demokrasi para mahasiwa.
Selain tidak melibatkan mahasiswa, mepetnya agenda sosialisasi Pemira daring juga terkesan sengaja dilakukan agar memuluskan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menjadwalkan pelaksanaan Pemira daring.
Padahal, peluncuran aplikasi Pemira secara daring baru dilakukan pihak rektorat dalam hitungan jam sehingga belum terbukti jelas keakuratan dan keamananya.
Plt Ketua Majelis Aspirasi Mahasiswa, Nanda Herlambang juga menyayangkan kebijakan yang dilakukan pihak rektorab Unja.
Menurutnya, Pemira secara daring yang digagas pihak rektorat tidak berlandaskan payung hukum dan legalitas yang kuat sehingga diragukan keabsahanya.
Nanda juga menyayangkan dimana pemilu raya yang seharusnya menjadi ajang kontestasi dalam mengadu integritas dan kualitas mahasiswa dalam mengabdikan dan mendedikasi dirinya menjadi pemimpin di ranah kampus dan mahasiswa beralih fungsi setelah diambil alih oleh pihak rektorat tanpa adanya kesepakatan dari mahasiswa.
Pelaksanaan Pemira secara daring untuk menentukan Presiden dan Gubernur Unja terkesan dipaksakan dengan minimnya sosialisasi.
Pembahasan rencana Pemira daring juga dinilai mengkebiri hak demokrasi karena tidak melibatkan mahasiswa.
Hal ini dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI nomot 139 tahun 2014, pada bab 3 huruf A pasal 7 dan ketentuan pasal 28 peraturan pemerintah nomor 4 tahun 2014, yang menegaskan fungsi bidang kemahasiswaan dan alumni sebagai pembina dan bukan mengintervensi mahasiswa apalagi otoriter dalam mengambil hak mahasiswa.
“Pemira merupakan salah satu bentuk representasi penerapan nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan mahasiswa. Namun fenomena yang terjadi di kampus Unja sangat miris,” ungkap Nanda.
Hal senada juga diungkapkan, Iglesias Panjaitan, mahasiswa yang tergabung dalam tim ahli perumus revisi konstitusi mahasiswa Unja.
Ia menyayangkan pihak rektorat yang otoritar dan mencapuri urusan demokrasi para mahasiwa.
“Yang paling fatal menjalankan pemira tanpa adanya landasan undang-undang dan legalitas yang sah. Seharusnya pihak rektorat hanya menjalankan tugas sebagai fasilitator dan mahasiswa yang membentuk undang-undang peraturannya,” tegasnya.
“Bahkan sistem pemira yang akan dilakukan besok belum ada sosialisasi terkait pemungutan suara dari KPU,” imbuhnya.
Plt Gubernur Hukum Unja, Yasir Hasbi mengaku terkait pelaksanaan Pemira sudah dilakukan pembahasan dengan Ketua MAM Unja dan mediasi dengan pihak rektorat.
Namun, mediasi yang dilakukan mengalami kebuntuan lantaran pihak Rektorat 3 Bidang Kemahasiswaan tetap bersikeras membetuk KPU tanpa persetujuan mahasiswa.
“Ada hal yang paling penting dari Pemira yang sampai saat ini tidak mendapatkan respon dari pihak Rektorat seperti usulan penurunan UKT, persoalan beasiswa bidikmisi dan permintaan kuota internet untuk mahasiswa,” tegas Yazid.
Pihaknya juga tidak dapat berbuat banyak karena mahasiswa sendiri masih bungkam lantaran terbentur dengan permasalah pandemi.
“Pihak rektorat tetap menginginkan terjadinya Pemira tahun ini, meskipun dengan dilakukan secara daring di tengah pandemi ini,” timpalnya. (Jr1)