Jika Marcus Aurellius adalah tetangga Anda. Apa yang anda lakukan?
Oleh: Ihsanuddin Izzu (Ketua Umum BPL HMI Cabang Jambi periode 2024 — 2025)
JARIJAMBI.COM — Marcus Aurellius merupakan tokoh utama dari mazhab filsafat stoikisme/stoa. Ia menjabat sebagai kaisar Romawi dalam rentang waktu 161 – 180 Masehi. Ia terkenal sebagai raja sekaligus filosof yang tenang lagi bijaksana. Lalu juga, ia terkenal selalu menghindari langkah-langkah yang gegabah. Gerakannya selalu terukur dengan keadaan yang ia dan pasukannya hadapi.
Semasa ia menjadi raja, para pasukan akan selalu diingatkan olehnya untuk senantiasa tenang di setiap waktu dan setiap kondisi. Karena bagi Marcus Aurellius, ketenangan adalah cahaya di antara gelap gulita. Tanpa cahaya ketenangan, maka tidak ada yang namanya kemenangan. Hakekat hidup adalah menjalankannya dengan tenang. Begitulah kira-kira yang dikatakan oleh Marcus Aurellius.
Dalam beberapa referensi yang memfokuskan pembahasan tentangnya. Ia seringkali dikesankan sangat berhati-hati dan tidak gegabah. Pernah dalam suatu ketika ia merasa jenuh dengan peperangan yang dilandaskan kepada orientasi kekuasaan, ia lebih memilih untuk memandang perang tersebut sebagai akar mencapai ketenangan. Marcus Aurellius selalu objektif dengan tidak memandang permasalahan sebagai titik penyengsaraan saja, tapi juga titik perbaikan dan harapan. Maka dari itu ia lebih sering mengutamakan rasionalitas ketimbang emosi. Sederhananya, Marcus Aurellius menggaungkan bahwa moralitas di atas segala-galanya.
Sekarang, bayangkan jika Marcus Aurellius hidup di Indonesia dan menjadi tetangga anda. Apa yang akan anda lakukan? Apa yang anda sorot pertama kali?
Saya pikir, anda akan menjilatnya. Hal yang dilakukan orang biasa pada umumnya terhadap para pejabat, konglomerat, petinggi aparat dan tentu saja pemimpin birokrat.
Tapi, bukan itu poin pentingnya. Poin pentingnya adalah, kira-kira bagaimana respon Marcus?
Sudah hal umum kita kenali bahwa ketika pujian dilantunkan kepada seorang petinggi kerajaan, negeri dan sejenisnya pasti direspon dengan hal yang normatif dan elegan. Tentu saja termasuklah dengan Marcus. Tapi bedanya, anda akan diuji secara psikis dan kognitis. Apakah pujian yang anda sampaikan itu epistemik atau kah hanya retoris belaka. Ia akan menilai itu untuk menentukan kualitas respon yang normatif dan elegan itu.
Saya sangat menyadari bahwa pernyataan ini terkesan sok tahu dan sok mengerti. Kenapa berani saya lontarkan? Setiap diri kita bisa menilai dan mengkategorikan orang, walau diri kita mungkin tidak sehebat mereka. Di tiap-tiap diri kita pasti memiliki potensi itu dan terkadang kita terlalu tabu atau bisa juga minder untuk mengakuinya. Padahal, itu hal umum sekali. Dalam persoalan ini, yang penulis baca adalah tipe kepribadian dan kepemimpinannya. Sehingga sampailah anekdot ini sebagaimana di atas.
Jadi, bagaimana kalau Marcus Aurellius benar-benar jadi tetangga anda?