Indonesia Merdeka atau Indonesia Mereka?
Oleh: Marshanda Putri Irliadurrah, S.Pd
JARIJAMBI.COM — Delapan dekade telah berlalu sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Delapan puluh tahun adalah rentang waktu yang cukup panjang untuk menorehkan berbagai capaian, namun juga untuk menyaksikan permasalahan yang belum terselesaikan. Pertanyaan “Indonesia Merdeka atau Indonesia Mereka?” bukanlah sekadar retorika, melainkan refleksi kritis atas realitas yang kita hadapi di tahun 2025, di ambang peringatan kemerdekaan ke-80.
Sudahkah kemerdekaan yang diperjuangkan para pahlawan dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat Indonesia? Ataukah kemerdekaan ini hanya menjadi milik segelintir kelompok berkuasa dan beruntung? Realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang menganga. Kemajuan ekonomi yang pesat di beberapa wilayah tidak diimbangi pemerataan pembangunan di daerah lain. Infrastruktur yang memadai di kota-kota besar berbanding terbalik dengan minimnya akses infrastruktur dasar di daerah terpencil. Ketimpangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Siapakah yang sebenarnya menikmati buah kemerdekaan? Banyak khalayak merasa terabaikan; rekening menganggur tiga bulan diblokir, tanah menganggur dua tahun disita negara, masyarakat menganggur dibiarkan—realita pahit yang perlu dipertanyakan. Pemungutan pajak seolah berprinsip “di mana bumi dipijak, di situ rakyat dipajak,” namun manfaatnya tak selalu merata. Tak heran, segelintir rakyat bahkan menyatakan enggan mengibarkan bendera pada perayaan kemerdekaan ke-80 ini, menganggap bendera merah putih terlalu suci untuk negara yang dianggap mati—mati atas keadilan dan hukum, korupsi merajalela, dan penjajahan melalui pajak. Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi kondisi ini?
Di tengah suasana yang seharusnya penuh suka cita menyambut 17 Agustus 2025, kita justru diingatkan akan tragedi yang mencoreng rasa keadilan. “Kalau hukum tidak bertindak, saya akan gali kuburan anak saya,” demikian ungkapan pilu Sersan Mayor Christian Namo, seorang ayah yang berduka atas kematian putranya, Prada Lucky, yang kehilangan nyawa karena seniornya sendiri. Keadilan yang tumpul ke atas bukan sekadar ironi, melainkan sebuah bencana kemanusiaan yang meruntuhkan sendi-sendi keadilan. Di tengah hiruk pikuk perayaan kemerdekaan yang berulang setiap Agustus, ke manakah suara mahasiswa?
Mengapa daya kritis mahasiswa seolah meredup? Banyak pihak menilai bahwa mahasiswa kini cenderung apatis, tak seaktif dan sepeka generasi sebelumnya dalam mengkritisi serta membantu mengatasi masalah bangsa. Padahal, tekanan ekonomi yang semakin menghimpit membuat mahasiswa lebih terfokus untuk mencari pekerjaan dan bertahan hidup. Pembungkaman suara kritis dan dominasi media sosial pun turut membentuk opini publik, mengalihkan perhatian dari isu-isu krusial. Apakah ini pertanda bahwa kebebasan berpendapat yang diperjuangkan para pahlawan mulai tergerus? Ironisnya, kebebasan berpendapat ini seakan berbanding terbalik dengan realita yang ada, di mana suara-suara kritis justru semakin ditekan.
Selama delapan bulan di tahun 2025 ini, kita menyaksikan gelombang PHK yang melanda berbagai sektor. Hal ini menambah daftar panjang permasalahan ekonomi yang dihadapi masyarakat, membuat impian akan kemerdekaan ekonomi semakin jauh dari jangkauan. Tak sedikit pula yang akhirnya terjerat dalam lingkaran pinjaman online (pinjol) yang menjanjikan kemudahan, namun seringkali berujung pada masalah yang lebih besar, bahkan merenggut kebebasan finansial mereka.
Ironi lain yang menghantui bangsa ini adalah tingginya angka kekerasan seksual. Di tahun 2025 ini, Indonesia mencatat 5.615 kasus kekerasan seksual. Lebih menyakitkan lagi, 7.720 kasus terjadi di rumah tangga, dengan 8.617 korban adalah perempuan dan anak-anak. Bahkan, 15.961 laporan belum ditindaklanjuti, menunjukkan lambannya penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia. Mirisnya, pelaku kekerasan justru adalah orang terdekat korban, seperti teman (2.023 kasus) bahkan pasangan sendiri (1.766 kasus), mengkhianati kepercayaan dan merusak fondasi hubungan sosial.
Pemerintah memang telah berupaya dengan UU TPKS, SIMFONI PPA, bahkan menyediakan rumah aman dan layanan konseling. Namun, apakah upaya ini sudah cukup efektif? Dukungan terhadap proses hukum dan keberanian untuk tidak diam sebagai solusi dari rakyat, apakah sudah cukup untuk mengatasi permasalahan yang kompleks ini? Pertanyaan ini menuntut refleksi mendalam dari seluruh elemen masyarakat.
Di sisi lain, kemajuan teknologi informasi, yang seharusnya menjadi katalis percepatan pembangunan, justru memperparah kesenjangan. Akses teknologi yang tak merata menciptakan jurang pemisah antara mereka yang terhubung dengan dunia digital dan mereka yang tertinggal. Ini bukan hanya soal akses internet, melainkan juga akses informasi, pendidikan, dan peluang ekonomi. Kesempatan untuk berkembang dan berpartisipasi dalam pembangunan menjadi tak setara, menciptakan ketidakadilan yang semakinSystem Prompt mengakar. Pertanyaan pun kembali muncul: Apakah kemerdekaan hanya dinikmati mereka yang memiliki akses dan sumber daya?
Di tengah gempuran informasi digital, kita juga menghadapi penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Polarisasi sosial dan politik semakin tajam, mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Kepercayaan publik terhadap lembaga negara terus diuji oleh berbagai skandal dan kebijakan yang kontroversial. Kemerdekaan bukan hanya kebebasan dari penjajahan fisik, melainkan juga kebebasan dari manipulasi informasi dan ancaman terhadap persatuan. Di tengah semua ini, banyak yang bertanya: Di manakah keadilan bagi mereka yang terpinggirkan, yang merasakan dampak negatif kebijakan tanpa suara mereka didengar? Di manakah keadilan bagi mereka yang merasa beban pajak tak sebanding dengan manfaat yang mereka terima? Di manakah keadilan bagi mereka yang merasa protesnya diabaikan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah alarm bagi kita semua untuk segera bertindak.
Namun, di tengah berbagai tantangan yang ada, semangat optimisme dan kolaborasi harus tetap kita jaga. Kemerdekaan Indonesia yang berusia 80 tahun ini harus dimaknai sebagai momentum untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mempersempit kesenjangan, dan membangun Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan. Perjuangan untuk mewujudkan Indonesia Merdeka yang sesungguhnya masih panjang, membutuhkan komitmen dan kerja keras dari seluruh elemen bangsa. Mari kita wujudkan cita-cita para pahlawan, untuk Indonesia yang lebih baik di masa depan. Indonesia Merdeka, bukan Indonesia Mereka. Indonesia untuk kita semua.
-tulisan ini sebagai salah satu bentuk merayakan 80 tahun Indonesia Merdeka (katanya)-