jarijambi.com- Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) komisi I Provinsi Jambi Akmaluddin, S.Pd.I, sosialisasikan tentang Etika dan Budaya Politik di Zaman Milenial, dalam Sosialisasi Undang-Undang Politik, yang di selenggarakan di Aula Kesbangpol Provinsi Jambi, Rabu, (17/02/2021).
Dalam kesempatan tersebut, Akmaluddin menyampaikan pentingnya mensosialisasikan UU Politik, sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat, agar menjadi pelopor pengawasan terhadap perkembangan politik.
“Sosialisasi ini sebagai bentuk edukasi, agar kita semua melek terhadap perpolitikan, tapi tidak harus semua terlibat politik praktis, melainkan menumbuhkan kesadaran dalam mengawasi dan terlibat sebagai kepedulian terhadap perkembangan politik,” ujarnya.
Akmal mengatakan saat ini masyarakat terjebak oleh pencitraan politik, yang dilakukan para elit politik di berbagai tingkatan.
“Pencitraan politik ini terjadi pertama kali saat pertama kali pemilihan langsung pasca Reformasi, yakni pada saat Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2004 lalu, karena pada saat itulah Presiden di pilih langsung oleh masyarakat, yang sebelumnya pemilihan melalui DPR/MRR RI,” ungkapnya.
Dia juga melihat akibat dari politik pencitraan tersebut, banyak terjadi pemecah belahan di tengah masyarakat, antara pendukung yang satu dengan yang lainnya, sehingga di buat UU untuk mengatur etika kritis di tengah masyarakat.
“Mulai dari sanalah pencitraan pilitik ini berjalan, ketika itu ada gesekan antara buzzer yang satu dengan buzzer yang lain, pada masa itulah dikeluarkan UU Nomor 11 Tahun 2008, tentang UU Informasi Teknologi Elektronik (ITE),” jelasnya.
Saat ditanyakan soal kritik kepada pemerintah, dimana masyarakat merasa takut menyampaikan kritik dikarenakan khawatir terhadap pelanggaran UU ITE, akmal menyatakan bahwa masih ada pasal pasal di dalam UU ITE yang perlu di revisi.
“Inilah yang sedang terjadi dalam prosesnya, bahwa memang ada pasal pasal karet yang ada dalam UU tersebut, sehingga ini menjadi masalah, kalu kita lihat UU Nomor 11 Tahun 2008 ini sudah berjalan 12 Tahun, memang hari ini banyak desakan dan dorongan dari masyarakat untuk segera di revisi,” ujarnya.
Akmal juga mengatakan bahwa mengkritisi pemerintah tidak dilarang, namun kebanyakan yang muncul ke permukaan justru adalah fitnah dan ujaran kebencian.
“Mengkritisi pemerintah itu tidak ada larangannya, selama mengkritiknya dengan cara beretika dan bermoral, kalau sudah tidak ada itu (etika dan moral) mau dibawa kemana, ini semua kembali ke kita masing masing,” imbuhnya.
Sementara itu Alfarizi yang juga sebagai pembicara menjelaskan, bahwa etika politik tergantuk pada prilaku politik, dimana agama dan sikap kenegarawanan sangat di perlukan.
“Prilaku politik itu menunjang kegiatan politik, harus memegang prinsip jujur, amanah dan santun, tidak membedakan sara, saling menghargai, menghormati atau toleransi serta mengutamakan kepentingan bangsa,” tuturnya.
“Sedangkan agama sebagai sumber moral dan etika, dengan menunjukkan sikap kenegarawanan bahwa politik adalah ibadah bukan kekuasaan, sehingga tercapai politik yang beretika dan bermoral, itulah yang mengarah pada kesejahteraan,” tambahnya.
Dosen Ilmu Politik di Universitas Jambi (Unja) ini juga menyampaikan perlu adanya revisi UU Partai Politik (Parpol), guna mencapai integriras setiap individu dan kelompok politisi.
“Ada yang harus di benahi dalam parpol, untuk kemudian di revisi yang masuk dalam sistem integritas Partai politik (SIPP), soal etika, kaderisasi dan rekruitmen, juga pendanaan serta penerapan Demokrasi di tubuh parpolparpol,” ujarnya.
Alfarizi juga menyampaikan perlunya semua elit politik untuk menghindari politik uang, baik kepada masyarakat maupun kepada calon calon yang akan bersaing.
“Politik uang itu bahaya, berpolitik tanpa etika seperti itu akan menimbulkan rentetan masalah, adu domba, hoax, kejahatan merajalela, ketidak adilan hukum dan masyarakat lebih konsumtif dan prilaku negatif lainnya, selama ini seakan politik itu adalah kekuasaan, berkuasa, duduk, mana ada duit makan,” Katanya.
“Endingnya menurut saya politik harus di jadikan sebagai sesuatu ibadah, bukan sebagai kekuasaan,” tutupnya.(*)