JARIJAMBI.COM, TANJAB TIMUR — Momen pelantikan Kesatuan Pembaharu Mahasiswa (Kapema) Tanjung Jabung Timur yang semestinya menjadi ajang seremonial, justru berubah menjadi ruang kritik terbuka. Empat mahasiswa—Arjuna Pase, Albi, Diyon, dan Alip—berdiri menyuarakan kegelisahan publik ketika Wakil Bupati Tanjabtim menyampaikan sambutan.
Kritik yang mereka lontarkan bukan tanpa alasan. Pertanyaan tajam tentang infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan, hingga independensi Kapema sebagai organisasi mahasiswa mencerminkan keresahan nyata masyarakat. Jalan yang rusak, kualitas pendidikan yang belum merata, layanan kesehatan yang masih terbatas, serta pentingnya posisi organisasi mahasiswa agar tidak tersandera kepentingan politik adalah isu yang tidak boleh diabaikan.
Apa yang dilakukan keempat mahasiswa ini adalah bukti bahwa mahasiswa masih memegang teguh perannya sebagai agent of change dan social control. Mereka hadir bukan untuk sekadar meramaikan acara, melainkan untuk menegaskan bahwa pelantikan organisasi mahasiswa tidak boleh tercerabut dari realitas sosial masyarakat.
Independensi Kapema menjadi catatan penting. Organisasi mahasiswa seharusnya berdiri di atas nilai perjuangan dan keberpihakan pada rakyat, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan kepentingan kekuasaan. Kritik ini adalah pengingat agar Kapema tidak kehilangan jati dirinya sebagai wadah progresif.
Protes itu mungkin terasa mengganggu jalannya acara, tetapi sejatinya ia adalah wujud keberanian menyuarakan suara rakyat di ruang yang jarang memberi tempat bagi kritik. Tanjabtim membutuhkan mahasiswa yang berani bicara, bukan yang hanya diam di tengah persoalan rakyat.
Kini, tanggung jawab ada di pundak kepengurusan baru Kapema serta pemerintah daerah. Kritik itu seharusnya menjadi bahan evaluasi, bukan dimusuhi. Sebab, dari kritiklah lahir pembaruan. (*/Syar)