Jarijambi.com – Fakultas Hukum Ekonomi Bisnis Universitas Adiwangsa Jambi menggelar seminar nasional yang bertajuk Implikasi UU Cipta Kerja pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kegiatan tersebut dilaksanakan di aula utama Universitas Adiwangsa Jambi pada hari Sabtu (16/04). Acara yang dimulai pada pukul 09.30 WIB tersebut dibuka langsung oleh Rektor Universitas Adiwangsa Jambi, Seno Aji, S.Pd., M.Eng., Prac.
Dalam sambutannya, Rektor sangat mengapresiasi atas terlaksananya Seminar Nasional ini. Pasca pendemi covid-19, ini merupakan seminar nasional kedua yang dilaksanakan secara tatap muka yang digagas oleh Fakultas Hukum Ekonomi Bisnis Universitas Adiwangsa Jambi. Rektor berharap kegiatan semacam iniakan terus dilaksanakan, terutama dengan menghadirkan mitra kerja dari Universitas Adiwangsa Jambi sebagai peserta. Pada kesempatan tersebut, rektor juga menyampaikan rasa terimakasihnya kepada Federasi Hukatan KSBSI Provinsi Jambi, yang selama ini telah mempercayai banyak dari anggota mereka untuk mengenyam perkuliahan di Universitas Adiwangsa Jambi.
Dikesempatan yang sama, Koordinator Federasi Hukatan KSBSI Provinsi Jambi, Masta Aritonga SH juga turut mengapresiasi atas terselenggaranya kegiatan seminar nasional ini. Menurutnya, Universitas Adiwangsa merupakan Universitas pertama yang bekerjasama dengan Federasi Hukatan KSBSI Provinsi Jambi dalam membedah Implikasi UU Cipta Kerja.
Seminar yang digelar ini dihadiri lebih dari 100 orang peserta yang berasal dari Anggota Federasi Hukatan KSBSI Provinsi Jambi, unsur Lembaga Swadaya Masyarakat, Mahasiswa, dan para dosen. Acara ini juga menghadirkan 2 (dua) pembicara sekaligus, yakni dari Universitas Adiwangsa Jambi yakni Dr. Adithiya Diar, M.H., dan dari Federasi Hukatan KSBSI Provinsi Jambi yang dalam hal ini diwakili oleh Ketua Federasi Hukatan F Kab. Tanjung Jabung Barat Hasian Marbun.
Adithiya Diar dalam pemaparannya menyampaikan bahwa sejak UU Cipta Kerja diberlakukan, selalu menimbulkan persepsi yang berbeda antara pemerintah selaku penggagas Undang-Undang dengan masyarakat yang terkena dampak. Bahkan perbedaan persepsi tersebut juga terus berlanjut hingga adanya putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.
Adithiya juga menambahkan, bahwa sejatinya pasca putusan MK yang menyatakan UU CIpta Kerja inkonstitusional bersyarat, sudah tidak ada lagi perbedaan persepsi. Pemerintah selaku penggagas Undang-Undang, harus memikirkan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja agar memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam amar putusan MK bernomor 91/PUU-XVIII/2020. Meskipun dalam amar putusan MK terdapat klausul yang menyatakan UU ini tetap berlaku hingga dua tahun kedepan, namun tidak serta merta UU ini memiliki daya ikat yang sama seperti sebelum adanya Putusan MK. Jika suatu UU dianggap berlaku, tetapi tidak memiliki daya ikat, itu sama halnya seperti raga kehilangan nyawa, ujarnya.
Pembicara kedua Hasian Marbun juga menuturkan, sejak awal dibentuk kita telah tahu bahwa UU Cipta Kerja ini cacat sejak awal. Bukan saja terkait penyusunannya yang sudah cacat, demikian juga dengan substansinya. Tim koordinasi yang dibentuk oleh pemerintah dalam menggagas UU Cipta Kerja ini hanya “boneka” untuk melegitimasi proses penyusunan RUU yang selama ini sangat tertutup, tidak demokratis, dan hanya mengakomodir kepentingan pengusaha.
Hasian melanjutkan, setidaknya terdapat 5 (lima) poin penting dalam UU Cipta Kerja ini yang dapat merugikan buruh:
· Pertama mengenai Sistem kerja kontrak, dimana perihal perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dalam UU Cipta Kerja tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak.
· Kedua mengenai Praktik outsourcing meluas, dimana UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing.
· Ketiga mengenai Waktu kerja eksploitatif, dimana dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding.
· Keempat, mengenai berkurangnya hak cuti dan istirahat, dimana Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.
· Terakhir mengenai Para buruh yang Rentan mengalami PHK. Dalam UU Cipta Kerja Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja, dengan Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Pasca pemaparan yang dilakukan oleh narasumber, kegiatan dilanjutkan dengan Tanya jawab. Sebanyak 4 orang penanya diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada narasumber. Setelah sesi tanyajawab, dilanjutkan dengan agenda foto bersama. Kemudian acara tersebut ditutup oleh Kartika Sasi Wahyuningrum, S.H.,M.H yang menjabat selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum yang juga bertindak selaku moderator acara, pada pukul 12.05 WIB. (*)