Kekerasan Seksual Anak, Perlindungan untuk Korban dan Hukuman bagi Pelaku
Oleh : Agus Sumantri (Kabid PPHA Dp3ap2kb Tanjabbarat)
Kekerasan seksual terhadap anak terus naik di era pandemi. Terhitung sejak Januari hingga awal maret 2021, terdapat 10 korban kekerasan seksual pada anak (TP2A Tanjabbarat,2021).
Kekerasan seksual dapat didefenisikan sebagai aktivitas seksual yang dilakukan pelaku tanpa persetujuan atau kerelaan dari orang lain yang menjadi korban tindakan tersebut. Tindakan-tindakan sejenis ini termasuk komentar seksual yang diarahkan terhadap seksualitas seseorang. Pada sebagian besar kasus yang terjadi, pelaku kekerasan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban, dan umumnya pelaku adalah pria.
Kekerasan seksual pada anak bisa terjadi kepada anak siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Kekerasan seksual pada anak di era saat ini juga bisa terjadi di dunia nyata maupun di dunia maya melalui internet.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, pada Kamis, 20 November 2020 mengumumkan bahwa sekolah boleh melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. PTM ini bersifat dibolehkan tapi tidak diwajibkan.
Melihat situasi perkembangan Covid-19 beberapa hari terakhir yang meningkat cukup signifikan, dimana penambahan kasus baru mencapai angka 8.000 setiap harinya, membuat sebagian orang tua menolak PTM dan lebih memilih sekolah daring. Sementara di satu sisi orang tua beraktifitas normal, sehingga dikuatirkan anak-anak tidak ada pendampingan di rumah.
Dalam situasi pandemi, terutama dengan diberlakukannya sekolah daring, ada kecenderungan anak mengakses internet lebih banyak daripada sebelumnya. Muncul kekuatiran penggunaan gadget tanpa pendampingan orang tua, khususnya anak usia dini dan usia sekolah, dapat membahayakan mereka, seperti terjadi pelecehan seksual melalui internet.
Untuk menghindarkan anak dari tindakan kekerasan seksual, baik secara fisik langsung maupun melalui media internet, maka diperlukan upaya pencegahan kolaboratif. Karena, sejatinya upaya pencegahan kekerasan seksual pada anak bukanlah tugas individu atau keluarga semata, akan tetapi merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa.
Peran Orang Tua
Setidaknya ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk melindungi anak dari kekerasan seksual, antara lain:
– Selalu mengetahui di mana anak berada
– Selalu mengetahui dengan siapa mereka dan pastikan waktu kapan anak harus pulang
– Selalu pastikan bahwa anak tahu orang tua berada di mana setiap saat, dan pastikan dapat dihubungi
– Luangkan waktu untuk anak
– Bangun hubungan komunikasi yang penuh rasa saling percaya dan terbuka dengan anak
– Selalu dengarkan baik-baik ketakutan dan kekhawatiran mereka dan beri tahu mereka bahwa mereka tidak perlu khawatir apabila memberi tahu orang tua tentang apa pun
– Waspadalah terhadap siapa pun yang memberikan perhatian yang tidak biasa kepada anak
– Waspada terhadap siapa pun yang memberikan sesuatu atau hadiah bagi anak. Hadiah ini dapat berupa membelikan mereka permen, memberi mereka uang atau hadiah mahal, video, ataupun game computer
– Berhati-hatilah terhadap siapa pun yang melakukan kontak dengan anak tanpa pengawasan
– Cari tahu sebanyak mungkin tentang siapa saja yang merawat atau menemani anak
– Bicaralah dengan anak mengenai mana saja sentuhan yang termasuk ‘pantas’, ‘baik’ dan ‘buruk’
– Jangan terlalu malu untuk berbicara dengan anak tentang bahaya kekerasan seksual dan “grooming”
– Bantulah anak untuk memahami perilaku apa saja yang patut dan yang tidak patut dilakukan ketika berinteraksi dengan orang dewasa
– Dorong anak untuk memberi tahu orang tua jika ada orang (termasuk kerabat, teman atau siapapun) yang berperilaku sedemikian rupa sehingga membuat mereka khawatir, tidak nyaman atau terancam
– Ajari anak untuk merasa percaya diri untuk menolak melakukan suatu hal yang menurut mereka salah atau membuat mereka takut
– Jelaskan kepada anak perbedaan antara rahasia ‘baik’ dan rahasia ‘buruk’. Misalnya, katakan kepada mereka bahwa boleh saja memiliki rahasia tentang pesta ulang tahun kejutan, tetapi bukan tentang sesuatu yang membuat mereka merasa tidak bahagia atau tidak nyaman.
– Kenali dan pahami berbagai perilaku orang dewasa atau anak-anak yang perlu dicurigai
– Ketahui dan kenali tanda-tanda dan gejala-gejala korban kekerasan seksual
Bagaimana Sikap Terhadap Korban
Bagi siapa saja, apabila menemukan sesuatu yang mencurigakan yang terindikasi kekerasan seksual pada anak, segera ambil tindakan atau minimal lapor ke petugas yang berwajib. Dan yang paling penting adalah kita tidak boleh mengucilkan korban maupun keluarganya.
Apabila seorang anak mengungkapkan bahwa dia mengalami kekerasan seksual, beberapa tindakan yang bisa dilakukan di antaranya:
– Dengarkan anak itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
– Meskipun kesal dengan apa yang diungkapkan anak, jangan bereaksi dengan cara yang dapat menambah kepanikan atau kesedihan anak.
– Anak perlu tahu bahwa dia dapat dipercaya dan tidak disalahkan atas kejadian pelecehan seksual tersebut, jangan memarahi anak.
– Berikan kesempatan kepada anak untuk berbicara tentang apa yang telah terjadi tetapi jangan memaksa.
– Katakan kepada anak bahwa adalah sesuatu yang benar untuk berbicara dan berbagi cerita dengan orang tua. Jangan memarahi anak jika pelecehan terjadi akibat anak telah melanggar aturan atau batasan yang telah beritahukan sebelumnya, misalnya pulang larut malam, bermain dengan orang tidak dikenal dan sebagainya.
– Laporkan masalah apa pun secara langsung ke pihak yang berwajib atau ke layanan profesional seperti seperti tenaga kesehatan, dokter, Petugas Perlindungan Anak, polisi setempat atau departemen layanan sosial.
Jika seorang anak menjadi korban kekerasan seksual, Perlindungan Hukum yang dapat diberikan kepada mereka, di antaranya: Pemulihan korban (UU Perlindungan Anak); Pengajuan ganti rugi (UU Perlindungan Anak). Kemudian, dalam menangani perkara anak, wajib memperhatikan -kepentingan terbaik bagi anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara (UU Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selain itu, identitas anak korban atau saksi wajib dirahasiakan: nama, nama sekolah, nama anak (korban), nama anak (saksi), nama orang tua, wajah dan hal lain yang dapat mengungkapkan identitas anak (UU Sistem Peradilan Pidana Anak)
Pada hakikatnya perlindungan terhadap anak adalah amanat UUD 1945. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta memperoleh perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak-hak anak untuk memperoleh perlindungan ini diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak yang telah direvisi dua kali dengan UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU nomor 23 tahun 2002 tentang Perlingdungan Anak, dan UU no 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; UU nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga; dan UU no 11 tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.(*)